Berita

Menu ini memuat perkembangan kabar dan informasi terkini tentang Perpustakaan Badan Standardisasi Nasional, ditulis untuk disampaikan kepada para pengunjung dan masyarakat umum

Menatap Masa Depan Riset Nasional

Admin Muhammad Bahrudin —
  384

 

Kurangnya perhatian negara dan sistem birokrasi yang berbelit, menjadi kendala utama dalam pengembangan ekosistem riset di Indonesia.

Setelah sekian lama jadi perbincangan, Presiden Joko Widodo akhirnya melantik Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada saat bersamaan, turut dilantik Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada Rabu (28/4). Terjawab sudah teka-teki perombakan kali kedua Kabinet Indonesia Maju. 

Berkaitan dengan bidang riset di Indonesia, pembentukan BRIN memang sudah menjadi amanat UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hanya saja, hal yang agak mengejutkan bagi komunitas peneliti ialah dileburnya kementerian yang mengurusi riset dan teknologi, ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tugasnya bisa dibilang maha berat dalam mengangkat kualitas pendidikan di tanah air. 

Posisi Menteri Bidang Riset dan Teknologi sebenarnya sudah ada sejak 1962, dengan nama Kementerian Negara Urusan Riset Nasional. Kelahirannya bersamaan dengan munculnya angan-angan melakukan lompatan besar teknologi untuk mempersiapkan kepemimpinan Indonesia dalam poros dunia baru, melawan kolonialisme dan imperialisme. 

Dalam sejarahnya, Kemenristek sempat dihapus oleh Presiden Soeharto pada awal Orde Baru, namun kemudian didirikan kembali. Selama masa Orde Baru, Menristek merupakan posisi yang sangat berwibawa dan diisi oleh para teknokrat terdepan di Indonesia. 

Sayangnya, setelah masa reformasi, Menteri Bidang Riset dan Teknologi terkesan semakin melempem. Sampai dengan peleburan Kemenristek dan Kemendikbud, Indonesia tercatat pernah memiliki 13 Menristek.

Masa Depan Riset di Indonesia

Ketika mendiskusikan riset di Indonesia, hal yang harus diingat ialah, tidak mungkin suatu negara mengembangkan bidang iptek dan inovasi ketika ekosistem risetnya tidak berkembang. 

Sayangnya, alih-alih serius mengembangkan, para pengambil kebijakan publik sekian lama seolah terbius untuk berebut posisi kepemimpinan bidang perekonomian. 

Seakan lupa, bahwa luaran bidang iptek dan inovasi bukan hanya memasok teknologi yang siap dikembangkan oleh kalangan industri melalui proses hilirisasi. Proses pengembangan riset, mulai dari riset ilmu murni; iptek terapan; hilirisasi; hingga komersialisasinya, merupakan rantai yang panjang. 

Masih segar dalam ingatan kita, pada tahun lalu, ketika awal pandemi, seluruh bangsa kelimpungan karena bahan untuk pembuatan masker pun ternyata bergantung pada impor. Sekarang, ternyata untuk vaksinasi pun kemajuannya ditentukan oleh impor. 

Lebih lanjut, masih terkait pandemi, menjadi pertanyaan juga ketika pemerintah lebih memfokuskan diri pada jumlah vaksin tersedia, alih-alih pada jumlah orang yang bisa dibentengi dari pandemi atau jumlah testing. Sementara itu, tracing seolah tidak begitu penting. 

Untuk menjawab krisis semacam ini, jawaban yang diperlukan bukan hanya produk iptek yang siap pakai, melainkan kesiapan riset ilmu murni untuk menyediakan pilihan-pilihan iptek yang sesuai dengan kondisi bangsa. 

Sejalan dengan dengan itu, pengambilan kebijakan pun harus menjadikan bukti (evidence) sebagai dasar pengambilan keputusan, dengan visi yang kuat dari negara untuk memanfaatkan data dan temuan iptek sebagai basis pengambilan tindakan. Sayangnya, saat ini evidence-based policy dapat dikatakan masih menjadi barang mewah. 

Harus diakui, wacana pengembangan iptek sempat “melempem” dengan berakhirnya era Orde Baru. Di bawah komando keuangan dari IMF semasa krisis 1997-1998, proyek-proyek pengembangan iptek dianggap terlalu ambisius dan membebani keuangan negara. 

Pun sesudahnya, ketika dalam periode 6 tahun Indonesia berganti kepemimpinan negara, riset iptek terpinggirkan setidaknya sebanyak 3 kali. 

Menurut Yanuar Nugroho, ilmuwan yang pernah menjadi Deputi Kantor Staf Presiden, secercah harapan mengenai perhatian negara kepada riset di Indonesia sebetulnya sempat muncul di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Namun, diakuinya pula harapan itu lantas pupus, dikalahkan bisikan-bisikan yang lebih mengarah pada pragmatisme. Langkah mendasar peleburan kementerian riset dan pembentukan BRIN pun terkesan terburu-buru di tengah pandemi dan periode pemerintahan yang sudah setengah jalan. 

Kebingungan mengenai masa depan pelaksanaan riset pun, terlihat bukan hanya melanda lembaga-lembaga yang langsung terdampak. Lembaga-lembaga pemerintah berbasis penelitian lainnya pun bertanya-tanya mengenai konsekuensi terhadap pelaksanaan pekerjaan mereka. 

Belum lagi, kondisi kebebasan akademik yang saat ini bukan hanya berhadapan dengan pembungkaman dari negara, namun juga oleh massa berbasis media internet, termasuk adanya penerapan UU ITE. Padahal, untuk mengembangkan ekosistem riset, dibutuhkan kebebasan dalam berkreasi, maupun perlindungan dari kontrol berlebihan agensi politik. 

Terbentur Birokrasi

Bentuk pembungkaman dari negara yang juga mengganggu, tetapi tidak terlalu diungkapkan, ialah birokratisasi riset. Dalam hal ini, kebijakan yang ada membuat riset tidak bisa menjawab permasalahan yang ingin diteliti secara maksimal, karena terjerat kerumitan birokrasi. 

Memang, diperlukan adanya manajemen birokrasi untuk pengajuan proposal riset, termasuk anggaran, pelaporan, serta monitoring dan evaluasinya. Namun, seharusnya manajemen birokrasi yang baik, mampu membantu para peneliti mencurahkan pemikirannya untuk menjawab pertanyaan risetnya. 

Di samping itu, akses terhadap pengambilan keputusan politik, terbukti juga merupakan salah satu faktor penting untuk menjamin dukungan terhadap pemenuhan sumber daya yang memadai. Walaupun kesannya iptek ialah dunia yang otonom, kenyataannya dalam lembaga-lembaga iptek, terjadi arena kompromi dan tawar-menawar politik. 

Peran tokoh politik yang berpengaruh dalam posisi, seperti Dewan Pengarah pun, akan menjadi faktor penentu berkembangnya riset. Dalam hal ini, kompromi dan tawar-menawar politik ini akan berdampak bagus untuk lembaga penelitian, apabila mampu menguatkan peran komunitas epistemik yang mampu memberikan ruang bagi bertumbuhnya ekosistem riset. 

Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Lukas Wibowo, mengambil contoh kasus di Polandia pada saat transformasi negara (1989-1991). Saat itu, pengelolaan lembaga riset jatuh ke tangan komunitas epistemik para ilmuwan yang bisa mendorong pembentukan lembaga sendiri, termasuk untuk pendanaan dengan penyederhanaan prosedur birokratis yang mendukung.

Kembali ke persoalan riset dalam negeri, setelah dilantik, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menegaskan komitmennya untuk mendorong peningkatan kualitas dan inovasi di perguruan tinggi. Utamanya, dalam bidang riset dan teknologi sebagai bagian dari Tridharma perguruan tinggi, serta meningkatkan kesiapan untuk bekerja sama secara dekat dengan BRIN. 

Sekilas, komitmen tersebut memang menjanjikan makin adanya lecutan bagi perguruan tinggi untuk kian memperkuat kompetensi bidang iptek, yang selama ini pun sudah didorong untuk mengembangkan STEAM (science, technology, engineering, arts dan mathematics).

Tersiar juga kabar, BRIN akan dibagi menjadi deputi-deputi sesuai pembidangan bidang iptek. Bidang-bidang tersebut, di antaranya (1) Perumusan Kebijakan dan Inovasi; (2) Penerapan Invensi dan Inovasi; (3) Kedirgantaraan, Kelautan, dan Pertahanan; (4) Industri, Pangan, dan Pertanian; (5) Transportasi, Informatika, dan Telekomunikasi; (6) Kesehatan dan Farmasi; (7) Pendayaan Nuklir dan Energi; (8) Lingkungan Hidup dan Kebencanaan; (9) Hukum, Politik, Sosial, Budaya, dan Humaniora; (10) Standardisasi Kualitas Penelitian; dan (11) Pengembangan Sumber Daya Peneliti dan Perekayasa, serta Riset dan Inovasi Daerah. 

Namun, pendekatan pembagian kompartemen ini kelihatannya juga kurang memperhatikan pekerjaan rumah besar, yakni untuk mendorong tumbuhnya ekosistem riset seperti yang telah penulis bahas di atas.

Untuk menyikapi perubahan-perubahan mendasar dalam bidang riset ini, kiranya penting untuk memahami bagaimana riset harus disemai, dibesarkan, dan dipelihara sebagai bagian dari pengembangan budaya bangsa. 

Apalagi, saat ini kekuatan riset bidang budaya juga tidak memperoleh perhatian. Padahal, dalam bidang-bidang ini, posisi Indonesia sudah cukup lumayan menjadi tempat belajar masyarakat dari seluruh dunia. 

Dalam mengangkat riset sebagai budaya, penting untuk membidik para peneliti unggulan, bahkan mungkin sejak mereka masih kanak-kanak. 

Hal ini karena kemampuan dan kepekaan untuk mempertanyakan masalah di sekitar; merumuskan langkah-langkah untuk mencari jawaban secara sistematis; serta menuangkannya dalam laporan atau artikel, tidak bisa diciptakan dalam jangka pendek. Ditambah lagi, adanya budaya yang mengekang kebebasan berpikir dan kemampuan mempertanyakan masalah, masih menjadi penghambat. 

Karena itu, minat riset ini kemudian dapat dikembangkan melalui sistem pendidikan dasar dan menengah yang memberikan stimulasi mempertanyakan fenomena-fenomena alam dan sosial. Lalu, hasilnya dapat diabstraksi dalam kerangka pemikiran lebih besar yang ada dalam masyarakat. 

Alih-alih mengarah pada penguatan pendekatan kompartemen, perlu dipikirkan dobrakan untuk mengangkat pemahaman ilmu sebagai bidang-bidang yang berkaitan satu sama lain. Tujuannya, mendukung kemanusiaan dan mendorong Indonesia menjadi warga dunia yang aktif memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Visi ini haruslah ditanamkan sedini mungkin, sebagai bagian pembangunan karakter dalam berbangsa. 


Sumber: https://www.validnews.id/opini/menatap-masa-depan-riset-nasional

© 2019 Perpustakaan BSN. All Rights Reserved.
Powered by SLiMS.