Berita

Menu ini memuat perkembangan kabar dan informasi terkini tentang Perpustakaan Badan Standardisasi Nasional, ditulis untuk disampaikan kepada para pengunjung dan masyarakat umum

Museum Anak Bajang, Ruang Belajar Kearifan Hidup dari Yang Dianggap Hina

Admin Nihayati —
  610

Museum yang namanya diambil dari tokoh dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya budayawan Sindhunata itu menampilkan beragam karya seni, buku, majalah, dan barang-barang lain bernilai sejarah sekaligus sumber inspirasi.

Museum Anak Bajang diresmikan pada Senin siang sebagai rangkaian acara Festival Anak Bajang. Selain peresmian museum, festival juga terdiri dari sejumlah acara, di antaranya perayaan 40 tahun novel Anak Bajang Menggiring Angin sekaligus peluncuran edisi cetak ulang terbaru, peluncuran cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan karya Sindhunata di harian Kompas, dan pembukaan pameran lukisan ”Sukrosono” karya Susilo Budi.

Rangkaian acara Festival Anak Bajang itu dihadiri sejumlah pejabat dan tokoh, misalnya Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid; Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit; Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa; serta Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto. Selain acara luring, Festival Anak Bajang juga disiarkan secara daring melalui kanal Youtube.

Kepala Museum Anak Bajang, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, menjelaskan, museum yang berlokasi di Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, itu terdiri dari beberapa kompleks bangunan yang menyimpan beragam koleksi. Di kompleks Ashram Bajang, misalnya, terdapat karya seni rupa berupa lukisan, patung, dan instalasi yang menggambarkan tokoh anak bajang.

Dalam cerita pewayangan, anak bajang digambarkan sebagai figur raksasa kecil buruk rupa. Sementara itu, dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata, anak bajang menjadi simbol makhluk tidak sempurna. Namun, justru karena tidak sempurna, anak bajang melakukan berbagai upaya untuk menjadi lebih sempurna.

Selain itu, di kompleks Ashram Bajang juga terdapat ruangan Sindhu Sekoel yang menyimpan buku-buku dan tulisan karya Sindhunata. Di ruangan ini juga terdapat karya seni rupa yang dibuat beberapa perupa sebagai respons terhadap berbagai karya tulis Sindhunata.

Di Museum Anak Bajang juga terdapat kompleks Kapujanggan yang menyimpan benda-benda koleksi tiga tokoh yang berperan penting dalam perkembangan majalah Basis, yakni PJ Zoetmulder, Nicolaus Driyarkara, dan Dick Hartoko. Di kompleks Kapujanggan juga terdapat Ruang Insulinde yang didedikasikan untuk masyarakat biasa dengan beragam profesi, seperti tukang becak.

”Kita, kan, selalu menginterpretasikan kalau orang-orang biasa itu tidak punya sejarah dan tidak punya museum. Makanya kami buat ruangan khusus untuk tukang becak dan orang-orang biasa dari segala profesi. Kami ingin menunjukkan semua orang punya sejarah dan perlu diingat,” ujar Rhoma.

Sementara itu, kompleks Panyarikan di Museum Anak Bajang berkait dengan dunia jurnalistik. Di kompleks itu, antara lain, terdapat beberapa foto terbitan awal harian Kompas serta patung lima tokoh pers Indonesia, yakni Mochtar Lubis, BM Diah, Rosihan Anwar, PK Ojong, dan Jakob Oetama.

Di museum itu juga terdapat kompleks Sanggar Pamujan yang berisi tempat ibadah sejumlah agama di Indonesia. Ada juga kompleks Sekolahe Petroek yang merupakan perpustakaan dengan koleksi aneka jenis buku.

Guru kehidupan

Sindhunata mengatakan, di Museum Anak Bajang, pengunjung bisa belajar tentang tokoh-tokoh seniman yang mungkin tak terlalu dikenal, tetapi memiliki kearifan hidup. Beberapa seniman yang kisahnya pernah ditulis Sindhunata di Kompas itu, misalnya Darman Gondo yang merupakan dalang asal Klaten, Jawa Tengah, serta Bu Dewi yang merupakan penari asal Cirebon, Jawa Barat.

”Di sana kita bisa belajar mengenai para seniman yang pernah ditulis di Kompas, seperti Bu Dewi, Darman Gondo, dan sebagainya. Itu hanya dokumentasi kecil, tapi mereka sungguh-sungguh guru kehidupan,” tutur Sindhunata.

Selain itu, para pengunjung Museum Anak Bajang nantinya juga diharapkan bisa belajar kearifan hidup dari tokoh anak bajang. Sindhunata menuturkan, anak bajang merupakan sosok yang tidak sempurna karena memiliki wajah buruk rupa. Meski demikian, anak bajang terus berupaya bisa menjadi lebih baik karena menyadari ketidaksempurnaannya.

”Anak bajang itu figur yang jelek dan raksasa, tapi berbudi luhur, tulus, dan rela berkorban. Makhluk yang tidak sempurna ini selalu merindukan untuk sempurna dan karena itu mencoba menghayati nilai-nilai menuju kesempurnaan walaupun tidak akan tercapai,” ungkap Sindhunata.

Sindhunata menambahkan, sosok anak bajang bisa menjadi kritik terhadap karakter manusia yang cenderung telah merasa sempurna. Karena merasa sempurna, banyak orang kemudian menjadi merasa paling benar,

”Anak bajang itu mungkin figur yang mengkritik kita habis-habisan sebagai manusia yang diciptakan sempurna, tapi justru menyia-nyiakan kesempurnaannya dengan menjadi sok dan sombong,” papar Sindhunata.

Apresiasi

Dalam acara bincang-bincang di Festival Anak Bajang, Hilmar Farid menyampaikan apresiasinya terhadap Museum Anak Bajang. Menurut Hilmar, Museum Anak Bajang sangat jauh dari bayangan masyarakat umum tentang museum yang asing dan tertutup.

”Museum Anak Bajang ini sangat intim, personal, dan hangat. Museum ini merupakan akumulasi dari pengalaman dan perjalanan Romo Sindhunata yang begitu panjang. Apa yang dipamerkan di museum ini adalah buah dari persahabatan dan pergaulan Romo Sindhunata,” tutur Hilmar.

Sukardi Rinakit mengatakan, Museum Anak Bajang diharapkan bisa menjadi tempat untuk belajar dan terinspirasi tentang kebajikan dan kemanusiaan. Sebab, di dalam museum tersebut, para pengunjung bisa belajar tentang nilai-nilai keutamaan dalam sosok anak bajang.

”Roh dari sosok anak bajang itu adalah nilai-nilai keutamaan, misalnya rela berkorban dan dari ketidaksempurnaan ingin belajar menjadi sempurna. Jadi, Museum Anak Bajang ini bisa menjadi tempat satu orang untuk belajar dan terinspirasi tentang kebajikan dan kemanusiaan,” ungkap Sukardi.

Sementara itu, Tri Agung Kristanto mengatakan, novel Anak Bajang Menggiring Angin yang ditulis sekitar 40 tahun lalu oleh Sindhunata masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Itulah kenapa, mulai Senin ini, harian Kompas memutuskan memuat cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan karya Sindhunata.

”Apa yang dituliskan 40 tahun lalu oleh Romo Sindhunata itu masih relevan sampai hari ini sehingga ketika ada tawaran terkait Anak Bajang Mengayun Bulan, kami mengambil keputusan untuk menerbitkannya,” ujar Tri Agung.

Tri Agung menyebut, cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan akan dimuat setiap hari di Kompas dan Kompas.id selama 150 hari. Dia menambahkan, selain memuat cerita bersambung itu, terbuka pula kemungkinan Kompas akan membuat produk turunan dari kisah Anak Bajang Mengayun Bulan. ”Strategi selanjutnya, kami tidak hanya menampilkan cerita itu di harian Kompas dan Kompas.id, tetapi bagaimana memproduksi turunan-turunannya,” ungkap Tri Agung.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/09/27/belajar-kearifan-hidup-dari-sosok-tak-sempurna-di-museum-anak-bajang/

 

© 2019 Perpustakaan BSN. All Rights Reserved.
Powered by SLiMS.