Jakarta - Hubungan RI-Australia sempat memanas akibat terkuaknya upaya penyadapan. Luapan emosi masyarakat Indonesia sempat memuncak. Bahkan, hingga menjalar ke dunia maya.
Beramai-ramai para peretas Indonesia 'menyerang' situs-situs Australia. Walaupun serangan dunia cyber tidak bermaksud merusak sistem operasi situs-situs Australia, namun cukup mengganggu.Tindakan yang dikenal sebagai cyber attack tersebut hanya bertujuan untuk menunjukkan eksistensi dan kemampuan kaum muda Indonesia untuk mengusik "kenyamanan" Australia.Tindakan para peretas muda di satu sisi menunjukkan terusiknya nasionalisme anak bangsa. Namun, di sisi lain, serangan cyber memicu terjadinya serangan balasan dari Australia terhadap sejumlah situs Indonesia.
Kondisi ini akhirnya meletupkan perang cyber kecil antara kedua negara yang menunjukkan infrastruktur IT Indonesia belum siap untuk menangantisipasi potensi kondisi di atas.Fakta tersebut mendorong Komunitas Gita Indonesia bersama Indonesia Cyber Defence Institute (ICDI) Yogyakarta menggelar diskusi yang menghadirkan kalangan blogger dan komunitas kreatif Yogyakarta. Gita Indonesia melalui keterangan tertulisnya, Jumat (6/12), mencoba menyingkapi apa yang sesungguhnya terjadi di dunia cyber Indonesia-Australia.
Dalam diskusi yang mengusung tema "Memperjuangkan Indonesia di Dunia Maya", menghadirkan dua narasumber yakni Pepih Nugraha (pengelola Kompasiana), Immanuel More (pengamat politik Akar Rumput Strategic Consulting – ARSC) dan Aat Sadewa (Peneliti Senior Indonesia Cyber Defence Institute – ICDI).
Pepih menilai, di era globalisasi ini perang cyber memang tak bisa dihindari lagi. Indonesia juga merupakan pasar sekaligus pemain yang sangat potensial di dunia IT.Saat ini perang non-konvensional seperti halnya perang cyber harus menjadi salah satu kekuatan Indonesia. Apalagi anak-anak muda Indonesia cukup berbakat untuk menguasai sektor IT ini.
Pengamat politik Imanuel More dari ARSC menilai kebangkitan partisipasi para peretas dalam isu-isu publik tidak terhindarkan di era demokrasi.Menurut More, keberadaan media sosial sebagai salah satu aspek keterlibatan publik menjadi signifikan ketika institusi-institusi demokrasi tidak bekerja baik dalam membela kepentingan nasional. Pada tingkat domestik, kebangkitan mereka terlihat ketika menyerang dan mengkritisi kebijakan dan solusi para pemimpin yang tidak becus dan tidak populer."Sementara, pada tingkat internasional, keterlibatan mereka muncul ketika melihat negara melemah saat membela kepentingan dan kebanggaan kita sebagai suatu Negara-bangsa“, kata More.
Peneliti senior ICDI, Aat Sadewa menilai agar sebaiknya negara segera memperhatikan para pelaku perang cyber di Indonesia. Pelaku cyber juga sebaliknya untuk bisa menahan diri untuk tidak menyerang negara lain.“Sudah saatnya Negara mulai merangkul dan memfasilitasi kelompok-kelompok peretas dan pelaku perang siber untuk menyatukan kekuatan, agar mereka tidak bertindak sporadis dan partikularistik, serta agar energi mereka dialihkan justru untuk memperkuat sistem pertahanan IT Indonesia sendiri, bukan menyerang Negara lain.” Ucap Aat.Aat mengingatkan, hal ini penting untuk diprioritaskan mengingat citra para peretas Indonesia yang kerap negatif di mata komunitas internasional karena sering mengganggu atau menghancurkan sistem orang lain dibanding membangun atau meningkatkan inovasi sistem pertahanan IT kita sendiri.
Gita Indonesia merupakan jaringan strategis masyarakat sipil organik yang bertujuan untuk mengadvokasi kepentingan nasional dari berbagai aspek khususnya di era globalisasi.Koordinator Gita Indonesia, Reza Pahlevi menyatakan, pihaknya memulai gerakan dari Yogyakarta mengingat Yogya merupakan basis kekuatan kaum republiken. Kepentingan nasional harus diperjuangkan oleh seluruh anak bangsa. Tanpa malu-malu Reza menjelaskan, Gita Indonesia juga merupakan bentuk dukungan komunitas-komunitas sipil organik terhadap sosok capres Gita Wirjawan yang dinilai membawa harapan baru bagi Indonesia.
“Gita Indonesia melihat bahwa Indonesia butuh pemimpin muda yang paham bagaimana memperjuangkan kepentingan nasional di era globalisasi. Kami butuh pemimpin yang mampu membawa kegemilangan Indonesia di era baru yang mampu melepaskan diri dari berbagai keterpurukan dan kompleksitas masa lalu khas politik kita," Ucap Reza.Juru bicara Gita Indonesia, Intan Selni menuturkan, setelah Yogya, Gita Indonesia akan membuat acara di berbagai kota bekerja sama dengan berbagai komponen masyarakat sipil lain yang ingin perubahan khusus dalam berbagai isu perjuangan yakni isu anti korupsi, buruh migran, pertanian, sosial ekonomi dan kebudayaan.
Sumber : http://www.beritasatu.com
© 2019 Perpustakaan BSN. All Rights Reserved.
Powered by SLiMS.