Secara geologis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah akibat banyaknya gunung api, yang menyebabkan naiknya magma dari bawah permukaan bumi menuju atas bumi membawa mineral-mineral seperti emas, tembaga, dan bauksit.
Naiknya lempeng oceanic yang bertemu dengan lempeng continent menyebabkan mineral-mineral seperti nikel yang tadinya hanya terbentuk di dasar samudera kemudian ada di dataran continent seperti yang ada di Sulawesi dan Halmahera.
Namun semua kekayaan alam tersebut membawa konsekuensi tersendiri, yaitu menimbulkan banyak bencana, karena terkait dengan proses dinamika bumi.
“Nah inilah yang tidak disadari semenjak terbentuknya republik ini. Dulu kita selalu dicekoki dengan jargon gemah ripah loh jinawi, bahwa Indonesia adalah negara yang sejahtera, makmur dan sentosa. Seharusnya juga ditanamkan doktrin bahwa negeri kita adalah negeri seribu bencana, sehingga akan muncul awareness sejak dini, akan tumbuh literasi tentang negara kita sebagai negeri rawan bencana sejak dini,” ungkap Adi Maulana, profesor geologi dan juga Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Selasa (2/3/2021).
Dengan kondisi ini, lanjut Adi, sejumlah bencana yang terjadi akhir-akhir ini tidak bisa dikatakan sebagai kutukan Tuhan, namun lebih kepada dinamika bumi akibat proses-proses alami tersebut.
Menurut Adi, terdapat 512 gunung api di Indonesia dimana 129 di antaranya berstatus aktif atau pernah mengalami erupsi atau 30 persen dari jumlah gunung api di dunia.
Bahkan, sejarah menunjukkan beberapa bencana besar berupa letusan gunung api besar pernah terjadi Indonesia, seperti yang terjadi di Tambora tahun 1815, Krakatau, Galunggung, Awu, dan Agung. Hampir sekitar 60 persen wilayah Indonesia yang dihuni sekitar 240 juta penduduk merupakan daerah sangat rentan terjadinya bencana alam.
“Kita memiliki track record bencana alam yang banyak sekali sehingga sudah seharusnya bangsa ini menjadi bangsa yang paling ahli dalam hal mitigasi bencana alam terkait teknologi dan ilmu pengetahuan. Belum lagi posisi Indonesia yang berada di garis ekuator yang menyebabkan sangat rentan terhadap terjadinya bencana hidrometeorologi, kita punya el nino yaitu musim kering dan la nina musim basah,” jelasnya.
Menurut Adi, merujuk pada hasil petemuan yang dilakukan oleh beberapa ahli kebencanaan, masalah utama kebencanaan di Indonesia adalah pada manajemen kebencanaan yang buruk, seperti implementasi regulasi yang lemah, kualitas infrastruktur yang kurang, kepedulian publik yang rendah, kurikulum kebencanaan, anggaran, dan skeptisme terhadap sains.
“Ternyata ujung dari semua ini pada literasi kebencanaan,” tambahnya.
Menurut Adi, di antara empat negara yang diteliti di Jepang pada 2009 lalu, yaitu Jepang, Sri Langka, Amerika dan Indonesia, Indonesia adalah negara dengan tingkat literasi yang sangat kurang.
Beberapa kendala sulitnya penerapan literasi kebencanaan dalam bentuk kurikulum pendidikan adalah kurangnya sosialisasi, tenaga pengajar terbatas, ketersediaan materi ajar yang terbatas dan kurangnya pemahaman pendidik terkait kebijakan kebencanaan.
“Apa yang harus kita lakukan, antara lain harus mainstreaming isu kebencanaan dari TK sampai perguruan tinggi. Kita lakukan pelatihan tenaga pengajar, penyediaan materi kebencanaan, kemudian kebijakan untuk implementasi kurikulum kebencanaan,” tambahnya.
Keretakan Ekologi dan Krisis Pembangunan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati, mengutip pandangan John Bellamy Foster, profesor sosiologi dari Universitas Oregon Amerika Serikat, menjelaskan bahwa bumi saat ini berada dalam situasi yang disebut ecological rift atau keretakan ekologi.
Ecological rift adalah istilah yang menggambarkan bahwa kesatuan antara manusia dan non-manusia itu kemudian mengalami keretakan akibat model ekonomi yang sangat kapitalistik, yang memisahkan manusia dengan non-manusia dan memisahkan manusia dengan alam.
“Ini adalah logika kapitalisme yang memang kemudian melihat faktor non-manusia sebagai objek, sebagai suatu hal yang disubordinasi untuk kepentingan akumulasi kekayaan pada segelintir aktor ekonomi,” katanya.
Tanda-tanda keretakan ekologi bisa dilihat dari krisis iklim yang saat ini sudah terjadi dimana terjadi kenaikan suhu rata-rata 1O C sejak masa pra industri, dan diperkirakan akan mencapai 1,5O C pada kurun 2030-2052.
“Hal lainnya, panel ahli biodivesitas juga sudah melakukan kajian bahwa 1 juta spesies itu sudah punah dalam 50 tahun terakhir dan ini akan menjadi satu ancaman kepada 100 juta – 300 juta penduduk pesisir, dimana mereka akan kehilangan habitat pesisir yang kita tahu juga memberikan dukungan kepada sistem kehidupan komunitas pesisir,” tambahnya.
Dampak lain, menurut UNEP, badan PBB tentang lingkungan hidup, bahwa 60 persen penyakit menular saat ini adalah penyakit zoonosis, yang ditengarai disebabkan oleh kerusakan ekologis. COVID-19 adalah salah satu dari penyakit zoonosis ini.
Menurut Nur, salah satu penyebab terjadinya keretakan ekologi ini adalah digunakannya model ekonomi pertumbuhan yang berbasis pada Gross Domestic Product (GDP), yang dianut hampir seluruh negara di dunia ini, termasuk Indonesia, yang menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator dari kemajuan suatu negara.
Asumsi utama dari model pembangunan bahwa dalam pelaksanaannya akan lahir trickle down atau tetesan bawah, yang mengindikasikan bahwa harus ada satu unit usaha yang cukup besar sehingga terjadi efisiensi dalam ongkos produksi, sehingga nantinya bisa memunculkan tetesan-tetesan keuntungan bagi pihak lainnya, seperti pekerja dan masyarakat yang lainnya.
“Dengan model ekonomi ini, pemerintah Indonesia kemudian memberikan konsesi-konsesi usaha di sektor pengelolaan SDA bagi industri-industri skala besar. Namun pada kenyataannya ekonomi growth itu tidak serta merta berarti sebagai suatu kesejahteraan, malah justru trennya ini menghasilkan ketimpangan sosial ekonomi,” jelasnya.
Dijelaskan pula Nur bahwa terdapat tiga risiko utama yang dialami seluruh komunitas di bumi ini menurut persepsi kalangan pengusaha, dan pemimpin global, yaitu penyakit-penyakit menular, sumber mata pencaharian masyarakat, dan risiko akibat terjadinya cuaca ekstrem. Cuaca ekstrem ini diakibatkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi manusia.
“Jadi sebenarnya kalau kita melihat dengan kejadian-kejadian cuaca ekstrem seperti yang kita alami di awal tahun ini, hujan sangat intens, menghadapi daya lingkungan yang sangat parah akibat eksploitasi, dan itu kemudian mengakibatkan tingginya risiko bencana.“
Menurutnya, kalau kita tidak memutuskan lingkaran setan keburukan krisis ini maka akan terus menerus menghadapi bencana, keluar dari satu bencana ke bencana lainnya, seperti yang terjadi di Kalimantan Barat baru-baru ini.
“Bagaimana kita mau membangun yang lebih berkualitas, menghasilkan ekonomi dan kualitas SDM yang mumpuni untuk masa depan, kalau setiap tahun kita hanya menghadapi bencana-bencana yang bisa menimbulkan kerugian.”
Selain itu, kita juga kemudian menghadapi bencana-bencana akibat eksploitasi bencana alam berlebihan, seperti banjir, longsor dan kebakaran hutan. Bencana ini terjadi akibat ulah serakah manusia sehingga tak bisa dikatakan sebagai kutukan dari Tuhan.
“Menurut kami bencana itu bukan takdir atau azab ataupun ancaman tidak muncul begitu saja, tetapi juga dalam konteks bencana ekologis situasi ancaman itu juga adalah buatan manusia. Ini yang perlu kita pahami bersama bahwa di kita menghadapi fenomena yang kompleks, antara kondisi geologis, ketidakseimbangan ekologis serta dampak dari krisis global,” tambahnya.
Penulis: Wahyu Chandra
Artikel ini pertama kali terbit tanggal 16 Maret 2021 pada tautan https://www.mongabay.co.id/2021/03/16/pentingnya-literasi-kebencanaan-di-negeri-rawan-bencana/
© 2019 Perpustakaan BSN. All Rights Reserved.
Powered by SLiMS.