Laki-laki itu, seorang ayah, menutup halaman terakhir novel yang baru dibacanya. Ia pun melayangkan pandang, pada sebuah ruang restoran yang dikunjunginya bersama keluarga. Pandangan terakhir, tertumbuk pada istri dan dua anak remajanya. Ketiga orang dalam tatapannya ini, sebagaimana sebagian besar orang di dalam restoran yang sama-sama menunggu hidangan tiba, melakukan aktifitas yang berbeda dengan dirinya.
Jika ia barusan sempat menuntaskan membaca novel yang “tergaing” lima sampai enam halaman, sementara yang lain jari-jari tangannya terlihat bagai “berzikir”, bersitungkin pada Blackberry dan Android atau jenis smartphone lainnya. Termasuk dua anak dan istri tercintanya.
Tiba-tiba, laki-laki sebagai ayah ini sedikit tercenung. Seorang gadis imut, sekitar usia 13 tahunan, pada sebuah meja arah ke samping kirinya, khusyuk membaca sebuah buku. Laki-laki sebagai ayah ini merogoh saku, mengeluarkan handphone, kemudian menekan tombol kamera, dan mengarahkan ke si gadis imut yang sedang baca. Klik!
Laki-laki ini mendekati si anak, pura-pura lewat, kemudian, ia mengetahui membaca buku “Lima Sekawan” karya Enid Blyton. Ia menjadi semakin kagum, ketika melihat di mejanya ada sebuah buku Cerita Rakyat Minangkabau, yang mungkin stok jika buku yang sedang dibaca tamat buku tersebut segera dilahap. Oya, gadis kecil pembaca novel ini, bersama ayahnya yang sedang membaca majalah berita mingguan.
“Dua contoh yang sama-sama asyik sendiri-sendiri, sama-sama tidak peduli dengan orang sekitarnya,” gumamnya. Kemudian, ia menatap “kaum smartphone”, lalu menoleh pada gadis kecil pembaca.
Laki-laki tersebut pun kembali ke mejanya. Istrinya baru saja meletakkan telepon pintarnya di meja, di sisi gelas juice yang baru dihidangkan. Kemudian anaknya terlihat hanya memegang-megang Android dan Blackberrynya. “Kalian lihat anak di samping kiri kita ini,” katanya pada istri dan dua anaknya. Orang-orang tercinta laki-laki ini pun menoleh. “Ia sedang bertamasya ke dunia lain, dunia yang menghidupkan imajinasinya. Ia membaca buku cerita, membaca senilai karya sastra,” katanya.
Baik istri dan dua anaknya termangu. Salah seorang bertanya, “Lantas bagaimana dengan anak yang sedang membaca itu Ayah?” “Dunia ayah kalian ini ada pada anak itu, bukan pada telepon pintar di tangan kalian….” Si ibu, istri si ayah tercinta ini, tersenyum. Sedikit merasa tersindir. Kemudian, “Kan ayah juga yang membelikan kita-kita.”
“Ayah membelikan buku dan smartphone untuk kalian, tapi, buku cerita dan buku lainnya, kalian abaikan. Masih berbungkus plastik. Sementara smartphone, sudah terlihat usang, sesaat lagi akan diganti. Ini artinya, kalian tidak membaca. Ini artinya, ajakan ayah membaca itu penting, menikmati karya sastra itu bermakna, belum kalian pahami….
Hidangan yang dipesan pun datang. Laki-laki sebagai ayah, sebagai suami ini pun cepat-cepat tersenyum, sembari berkata, “Mari kita makan…. Ayo!”
Sembari makan, sang ayah ini, masih melihat dua anak remajanya, memencet tombol mungil huruf smartphonenya. Sesekali mereka saling memperlihatkan tulisan yang tertera. Mereka tampaknya sedang update status di Facebook. Isinya status mereka: Ayah aneh deh. Hari gini ngomong soal baca dan sastra. Anak satunya lagi juga update status: Gadis imut si kutu buku rusak suasana kita sama ayah. Ayah malah kagum anak meja sebelah yang lagi baca. Malamnya, laki-laki dengan koleksi buku ribuan ini, mengajak istrinya bicara.
“Aku ingin mengajak hidup kita lebih bermakna.” “Aku akan memenuhi harapanmu. Atas nama cinta!”
Sang suami, ya si ayah ini, sesungguhnya mengatakan, saat ini, orang tak banyak gemar membaca. Apalagi karya sastra. Jika pun punya sedikit koleksi buku atau novel sastra, atau buku-buku lainnya, sejak orang berada di jalur internet, sejak satu sama lain terhubung di jejaring sosial, buku jarang terbaca. Mereka seakan tak sempat. Malam dan Pagi, ketika hendak dan bangun tidur menyalakan internet, update status, ngetweet, menyampaikan apa saja, suka-sukanya. Mencek dan membaca status teman, orang lain, kira-kira apa yang menarik, sehingga tanpa sadar sudah berjam-jam.
Pada jejaring sosial, kita membaca cerita, teks 140 kata, atau teks relatif panjang pada Facebook. Di sana, kita satu sama lain, bisa membaca keadaan diri, status diri, termasuk hal paling pribadi dan remeh temeh yang tak patut diketahui khalayak. Jejaring sosial, akhirnya membagi ruang untuk setiap siapa saja bercerita sendiri. Banyak yang merasa memuaskan batin dan diri, betapa hidup, sesungguhnya harus diketahui orang, termasuk ketika kau mengganti celana dalam dengan model terbaru.
Masyarakat internet di jejaring sosial, adalah masyarakat yang seakan-akan segala tentang dirinya, tentang aktifitasnya, ingin diketahui orang banyak. Karena itu, wajar, kita tahu si A sekarang berada di mana, sedang makan apa, dan lagi jatuh cinta dengan siapa, serta kira-kira dia sedang kesal pada siapa, mudah dilacak di akun Facebooknya atau Tweeternya.
Dalam satu ruang, pada meja yang sama, kita tak lagi bisa ngobrol, saling bersitatap, karena di tangan kita, juga anak-anak kita, terpegang smartphone yang lebih mengasyikan. “Kita harus mendidik anak-anak kita memahami pentingnya membaca buku,” tukas sang ayah. Si ibu mengangguk. Keesokan harinya, ia memanggil dua anaknya. Ia ajak berdiri dekat rak-rak buku sang ayah, kemudian berkata, “Ibu ingin katakan, jangan biarkan buku-buku di rak ini berdebu. Bacalah buku yang sesuai denganmu. Begitu ajak ayahmu. Ibu setuju!”
Mendengar ungkapan si Ibu, anak-anaknya menjawab, “Kami akan membaca Ibu.” Ibunya tersenyum. Ia membayangkan, setelah hari ini, di waktu senggang, anak-anaknya akan sering ditemui dalam keadaan membaca. Namun, keesokan harinya, beberapa minggu setelah itu, si ibu ini, juga sang ayah, hanya selalu mendapatkan anak-anaknya tertawa terpingkal, senyum-senyum sendiri, dengan dua jempolnya yang aktif BBM-an, atau update status Facebook. Ketika menyalakan laptop, si ibu dan si ayah, melihat anaknya tengah membaca atau menulis status Facebook temannya.
Diam-diam, si ibu kecewa dan menuliskan perasaannya pada akun Facebooknya: Anak-anak lupa dengan nasehatku di hadapan rak buku ayahnya. Dan, tanpa diduga, si anak memberi komentar dari akunnya sendiri: Aku gak lupa dengan nasehat ayah melalui ibu. Cuma kadang pingin tahu saja, kalau kita nggak baca memangnya kenapa?
Dada si ibu bergemuruh. Ia berkata dalam hati, masih perlu waktu mengampanyekan gerakan membaca dalam keluarga, terutama pada anak sendiri.
© 2019 Perpustakaan BSN. All Rights Reserved.
Powered by SLiMS.