Berita

Menu ini memuat perkembangan kabar dan informasi terkini tentang Perpustakaan Badan Standardisasi Nasional, ditulis untuk disampaikan kepada para pengunjung dan masyarakat umum

Cerita Kecil Tentang Membaca

Admin Admin —
  478

Laki-laki itu, seorang ayah, menutup halaman terakhir novel yang baru dibacanya. Ia pun mela­ya­ngkan pan­dang, pada sebuah ruang restoran yang di­kun­ju­nginya bersama keluarga. Pandangan terakhir, ter­­tum­buk pada istri dan dua anak remajanya. Ketiga ora­ng dalam tatapannya ini, sebagaimana sebagian be­sar orang di dalam restoran yang sama-sama me­nunggu hidangan tiba, melakukan aktifitas yang ber­beda dengan dirinya.

 

Jika ia barusan sempat me­nun­taskan membaca novel yang “tergaing” lima sampai enam halaman, sementara yang lain jari-jari tangannya terlihat bagai “berzikir”, bersitungkin pada Blackberry dan Android atau jenis smartphone lainnya. Ter­masuk dua anak dan istri ter­cintanya.

 

Tiba-tiba, laki-laki sebagai ayah ini sedikit ter­ce­nung. Seo­rang gadis imut, sekitar usia 13 tahunan, pada sebuah meja arah ke samping kirinya, khusyuk mem­ba­ca sebuah buku. Laki-laki sebagai ayah ini merogoh sa­ku, mengeluarkan handphone, ke­mu­dian menekan tombol ka­me­ra, dan mengarahkan ke si gadis imut yang sedang baca. Klik!

 

Laki-laki ini mendekati si anak, pura-pura lewat, ke­mu­dian, ia mengetahui membaca buku “Lima Sekawan” karya Enid ­Bly­­ton. Ia menjadi semakin ka­gum, ketika melihat di meja­nya ada sebuah buku Cerita Rakyat Minangkabau, yang mu­ng­kin stok jika buku yang sedang dibaca tamat buku tersebut segera dila­hap. Oya, gadis kecil pembaca nov­el ini, bersama ayahnya yang sedang membaca majalah berita mingguan.

 

“Dua contoh yang sama-sama asyik sendiri-sendiri, sa­ma-sama tidak peduli dengan orang seki­tarnya,” gumamnya. Ke­mudian, ia menatap “kaum smartphone”, lalu menoleh pada gadis kecil pembaca.

 

Laki-laki tersebut pun kem­bali ke mejanya. Istrinya baru saja meletakkan telepon pin­tarnya di meja, di sisi gelas juice yang baru dihidangkan. Ke­mu­dian anaknya ter­li­hat hanya memegang-me­gang Android dan Black­ber­rynya. “Kalian lihat anak di sam­­ping kiri kita ini,” katanya pada istri dan dua anaknya. Orang-orang tercinta laki-laki ini pun menoleh. “Ia sedang bertamasya ke dunia lain, dunia yang meng­hidupkan imajinasinya. Ia mem­baca buku cerita, membaca se­ni­lai karya sastra,” katanya.

 

Baik istri dan dua anaknya termangu. Salah seorang ber­ta­nya, “Lantas bagaimana dengan anak yang sedang membaca itu Ayah?” “Dunia ayah kalian ini ada pada anak itu, bukan pada tele­­pon pintar di tangan ka­lian….” Si ibu, istri si ayah tercinta ini, tersenyum. Sedikit merasa ter­sindir. Kemudian, “Kan ayah juga yang membelikan kita-kita.”

 

“Ayah membelikan buku dan smartphone untuk kalian, tapi, buku cerita dan buku lain­nya, kalian abaikan. Masih ber­bu­ngkus plastik. Sementara smar­tphone, sudah terlihat usang, sesaat lagi akan diganti. Ini ar­tinya, kalian tidak mem­baca. Ini artinya, ajakan ayah membaca itu penting, me­nik­mati karya sastra itu ber­makna, belum kalian pa­hami….

 

Hidangan yang dipesan pun datang. Laki-laki sebagai ayah, sebagai suami ini pun cepat-cepat tersenyum, sembari ber­kata, “Mari kita makan…. Ayo!”

 

Sembari makan, sang ayah ini, masih melihat dua anak remajanya, memencet tombol mungil huruf smartphonenya. Sesekali mereka saling mem­perlihatkan tulisan yang tertera. Mereka tampaknya sedang update status di Facebook. Isinya status mereka: Ayah aneh deh. Hari gini ngomong soal baca dan sastra. Anak satunya lagi juga update status: Gadis imut si kutu buku rusak suasana kita sama ayah. Ayah malah kagum anak meja sebelah yang lagi baca.  Malamnya, laki-laki de­ng­an koleksi buku ribuan ini, me­nga­jak istrinya bicara.

 

“Aku ingin mengajak hidup kita lebih bermakna.” “Aku akan memenuhi hara­pan­mu. Atas nama cinta!”

 

Sang suami, ya si ayah ini, sesungguhnya mengatakan, saat ini, orang tak banyak gemar membaca. Apalagi karya sastra. Jika pun punya sedikit koleksi buku atau novel sastra, atau buku-buku lainnya, sejak orang berada di jalur internet, sejak satu sama lain terhubung di jejaring sosial, buku jarang terbaca. Me­reka seakan tak sempat. Malam dan Pagi, ketika hendak dan bangun tidur men­yala­kan inter­net, update status, ngetweet, menyampaikan apa saja, suka-sukanya. Mencek dan membaca status teman, orang lain, kira-kira apa yang menarik, sehingga tanpa sadar sudah berjam-jam.

 

Pada jejaring sosial, kita mem­baca cerita, teks 140 kata, atau teks relatif panjang pada Fa­cebook. Di sana, kita satu sama lain, bisa membaca kea­daan diri, status diri, termasuk hal paling pribadi dan remeh temeh yang tak patut diketahui khalayak. Je­jaring sosial, akhir­nya mem­bagi ruang untuk setiap siapa saja bercerita sendiri. Banyak yang merasa me­muas­kan batin dan diri, betapa hidup, sesungguhnya harus diketahui orang, termasuk ketika kau mengganti celana dalam dengan model terbaru.

 

Masyarakat internet di jeja­ring sosial, adalah mas­yarakat yang seakan-akan segala tentang dirinya, tentang aktifitasnya, ingin diketahui orang banyak. Karena itu, wajar, kita tahu si A sekarang berada di mana, sedang makan apa, dan lagi jatuh cinta dengan siapa, serta kira-kira dia sedang kesal pada siapa, mudah dilacak di akun Facebooknya atau Tweeternya.

 

Dalam satu ruang, pada meja yang sama, kita tak lagi bisa ngobrol, saling bersitatap, ka­re­na di tangan kita, juga anak-anak kita, terpegang smartphone yang lebih mengasyikan. “Kita harus mendidik anak-anak kita me­ma­hami pen­ting­nya membaca bu­ku,” tukas sang ayah. Si ibu mengangguk. Ke­es­okan harinya, ia memanggil dua anaknya. Ia ajak berdiri dekat rak-rak buku sang ayah, kemudian berkata, “Ibu ingin katakan, jangan biar­kan buku-buku di rak ini ber­debu. Bacalah buku yang sesuai denganmu. Begitu ajak ayahmu. Ibu setuju!”

 

Mendengar ungkapan si Ibu, anak-anaknya menjawab, “Kami akan membaca Ibu.” Ibunya tersenyum. Ia mem­bayangkan, setelah hari ini, di waktu seng­ga­ng, anak-anaknya akan sering ditemui dalam kea­daan mem­ba­ca. Namun, keesokan harinya, beberapa minggu setelah itu, si ibu ini, juga sang ayah, hanya selalu mendapatkan anak-anak­nya tertawa terpingkal, senyum-senyum sendiri, dengan dua jempolnya yang aktif BBM-an, atau update status Facebook. Ketika menyalakan laptop, si ibu dan si ayah, melihat anaknya tengah membaca atau menulis status Facebook temannya.

 

Diam-diam, si ibu kecewa dan menuliskan perasaannya pada akun Facebooknya: Anak-anak lupa dengan nasehatku di hadapan rak buku ayahnya. Dan, tanpa diduga, si anak memberi komentar dari akun­nya sendiri: Aku gak lupa de­ngan nasehat ayah melalui ibu. Cuma kadang pingin tahu saja, kalau kita nggak baca me­mangnya kenapa?

Dada si ibu bergemuruh. Ia berkata dalam hati, masih perlu waktu mengampanyekan gera­kan membaca dalam keluarga, terutama pada anak sendiri.

 

 

 

© 2019 Perpustakaan BSN. All Rights Reserved.
Powered by SLiMS.